HOKI DAN KESEHATAN

PALMISTRI, FISIOGNOMI, SHIO, GRAFOLOGI, ZODIAK, HOROSKOP, TAHI LALAT, FRENOLOGI, NUMEROLOGI, FENGSHUI, BAZI, ZIWEI, ASTROLOGI

Sidik Jari Sarjana Lebih Rumit?

Posted by Fisiognomi pada 13 Mei 2010

Tempo interaktif, 7 April 1990 – BAK bintang dadakan, nama Ny. Ratu Siti Rafiah melejit sepanjang pekan lalu. Namanya jadi buah bibir. Wartawan dari berbagai media pun datang mewawancarainya.

“Mereka nanya ini-itu, wah tak habis-habis,” ujar Ratu, 53 tahun, suaranya lembut dan ramah. Kesibukan ekstra itu berpangkal dari disertasi Ratu, yang diuji di depan senat guru besar UI, di Kampus UI Depok, Sabtu dua pekan lalu.

Ratu dinyatakan lulus sebagai doktor. Disertasi ini menyorot masalah dermatogifli, ilmu tentang sidik jari — hal yang jarang disentuh ilmuwan Indonesia. Yang menarik, dalam karya ilmiah itu Ratu mengungkapkan bukti hubungan antara sidik jari dan strata pendidikan seseorang.

“Ada perbedaan yang nyata pada sidik jari orang berpendidikan nonsarjana dengan yang sarjana dan doktor,” ujar Kepala Laboratorium Embriologi-Histologi Anatomi di Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) UI itu. Untuk penelitian sidik jari itu, Ratu merekrut 45 orang sampel.

Mereka terdiri dari tiga kelompok: 200 orang berpendidikan SD, SLA dan tak berstatus mahasiswa, 185 orang sarjana, ditambah lagi 110 orang doktor. Sidik jari kelompok nonsarjana itu diperoleh dari berkas-berkas yang ada di Markas Besar Kepolisian RI.

Sedangkan sidik jari kelompok sarjana dan doktor diperoleh antara lain dari kalangan dosen UI, IKIP Jakarta, IPB, ITB, LIPI, dan para pejabat di lingkungan Departemen P dan K.

Dalam studi ini, analisa didasarkan atas analisa terhadap ke-10 sidik ujung jari responden. Dalam mengidentifikasi, Ratu melihat pada jumlah garis (sulur) di ujung jari dan polanya (konfigurasi). Untuk penelaahan konfigurasi, ia mengacu pada standar yang dibuat oleh Galton, hampir seabad lalu.

Galton membagi konfigurasi sulur itu menjadi tiga, yaitu arch, loop, dan whorl. Konfigurasi arch punya bentuk yang paling sederhana: sulur-sulur bersusun membentuk garis lengkung sejajar, tak memiliki titik pusat. Pola loop lain lagi, sulur itu melengkung, melingkari sebuah titik pusat. Sedangkan whorl bentuknya lebih rumit, mirip loop dengan dua atau lebih titik pusat. Porsi whorl-loop-arch pada kelompok nonsarjana, sarjana, dan doktor, menurut pengujian statistik yang dilakukan Ratu, memberikan hasil yang berbeda nyata.

Pada kelompok nonsarjana misalnya, konfigurasi whorl besarnya 31,5%. Sedangkan pada sarjana dan doktor masing-masing 42,4% dan 42,6%. Begitu pula dengan loop dan arch — pada nonsarjana porsinya 66,3% dan 2,3%.

Sedangkan pada sarjana 55,8% dan 1,3%, lantas pada doktor 56,6% dan 0,7%. Dengan demikian, boleh dikatakan, pada kelompok sarjana dan doktor, orang-orang yang berjari whorl dan loop lebih banyak jika dibandingkan dengan nonsarjana.

Namun, sebaliknya, frekuensi arch lebih kecil pada sarjana dan doktor. Perbedaan yang paling mencolok tampak pada jumlah sulur di sepuluh jari tangan responden. Pada kelompok nonsarjana, jumlah sulurnya rata-rata 130, pada sarjana 144, dan doktor 151.

Terlihat bukti konsisten, semakin tinggi strata pendidikan formalnya jumlah sulur semakin besar. Lantas, bagaimana pula dengan pola dan jumlah sulur pada jari tangan nonsarjana tapi hampir jadi sarjana, katakanlah mahasiswa yang lagi bikin skripsi?

Rupanya, Ratu pernah juga menelitinya dengan sampel mahasiswa Kedokteran UI dan Unair Surabaya. Hasilnya? “Mereka mendekati pola sarjana dan doktor,” ujar ibu dua anak itu. Garis tangan memang ibarat takdir.

Sejak manusia di dalam rahim, lahir, tumbuh, dan menjadi dewasa, kata Ratu, jumlah dan bentuk sulur jari tangan itu tak pernah berubah. “Perubahan cuma bisa terjadi pada generasi berikutnya,” tuturnya. Tak kurang dari 98% pola sidik jari diperoleh lewat pewarisan genetik. Kelompok masyarakat tertentu akan mewariskan pola sidik jari tertentu pula.

Hal ini terbukti lewat penelitian R.D. Singh, 1978, atas empat kelompok kasta — Brahma, Kurmi, Pasi, dan Chammar — di Uttar Pradesh, India. Pola dan jumlah sulur tangan antara ke-4 anggota kasta itu berbeda nyata. Hanya melalui perkawinan antarkasta, perbedaan sidik jari itu bisa dibaurkan.

Lantas menurut Singh, bakat sidik jari berpola whorl yang banyak dimiliki warga Brahma dan Kurmi bersifat dominan. Akibatnya, perkawinan antarkasta itu ikut pula memasyarakatkan sidik jari whorl.

Secara samar, disertasi Ratu pun mengacu adanya pengelompokan dalam masyarakat Indonesia. Kelompok nonsarjana yang bersulur 130 itu disebut sebagai “masyarakat umum”, sedangkan kelompok sarjana dan doktor disebut sebagai “masyarakat tertentu”.

Kelompok-kelompok itu, menurut Ratu, berbeda kemampuannya menembus seleksi pendidikan. “Masyarakat tertentu” punya kemampuan lebih tinggi, sehingga sanggup menempuh strata pendidikan lebih tinggi. Perbedaan etnik, menurut Ratu, tak membawa pada perbedaan sidik jari.

Dia menduga, ini terjadi karena perkawinan antarsuku telah berlangsung tanpa banyak kendala. Hanya saja, “Perkawinan itu terjadi di antara mereka yang sederajat,” ujarnya. Namun, harap diketahui, studi Ratu, alumnus Biologi Universitas Nasional Jakarta 1966 itu, tak menghubungkan sidik jari dengan kecerdasan seseorang. Untuk mengaitkan kedua hal itu, “Masih diperlukan penelitian lanjutan,” ujar Prof. H.M.K. Tadjudin, promotor Ratu. Tadjudin juga mengatakan, studi Ratu itu belum mendatangkan manfaat praktls. Putut Tri Husodo dan Yudhi Soerjoatmodjo

Tinggalkan komentar