HOKI DAN KESEHATAN

PALMISTRI, FISIOGNOMI, SHIO, GRAFOLOGI, ZODIAK, HOROSKOP, TAHI LALAT, FRENOLOGI, NUMEROLOGI, FENGSHUI, BAZI, ZIWEI, ASTROLOGI

Ramalan, Antara Perspektif Ilmiah Dan Religius

Posted by Fisiognomi pada 19 Mei 2010

Sepekan sudah tahun 2006 kita tinggalkan. Tahun baru 2007, kita masuki. Tentu saja dengan semangat serta harapan baru. Harapan baik sempat dikatakan seorang peramal, Akino W Azzaro, yang menyebut, situasi buruk yang terjadi tahun 2005 dan 2006, akan membaik tahun 2007. Ia merujuk pada penanggalan Cina, tahun 2004 adalah tahun Monyet Kayu, 2005 tahun Ayam Kayu, dan 2006 tahun Anjing Api, sementara tahun 2007 adalah tahun Babi Api. Di tahun Babi Api inilah saatnya merangkak lagi, seperti babi, perlahan-lahan memperbaiki.

Pada umumnya ramalan di awal tahun selalu menjadi perhatian. Entah itu ramalan horoskop maupun shio. Banyak orang yang ingin mendapatkan bocoran mengenai nasib maupun keberuntungan (hoki) di tahun 2007 ini. Lain bagi peramal, ramalan ini sangat mendongkrak popularitasnya. Lagi pula tidak akan ada orang yang marah atau minta ganti rugi apabila ramalannya meleset. Di samping itu, peramal mungkin mendapat penghasilan tambahan dari orang yang datang minta diramal.

Sebenarnya ada banyak sumber tentang ramalan. Antara lain dari horoskop, shio, astrologi atau bahkan feng shui. Kata horoskop diserap dari bahasa Yunani, horoskopos yang berarti melihat jam. Melalui jam, waktu kelahiran seseorang bisa ditentukan. Selain itu, lambang zodiak dari orang tersebut juga bisa diramal untuk mengerti sifat kepribadian maupun jalan hidupnya.

Astrologi atau ilmu perbintangan, kata ini juga diserap dari bahasa Yunani, di mana berdasarkan letak posisinya di antara berbagai benda langit, peramal bisa meramalkan nasib seseorang. Astrologi sudah dikenal sejak zaman Babilonia sekitar 4.000 tahun yang lampau. Pada saat sekarang ada tiga macam astrologi yang cukup populer ialah astrologi barat, astrologi Tionghoa (Shio) dan astrologi India (Iyotisha).

Astrologi Tionghoa adalah astrologi yang tertua. Walaupun astrologi ini menggunakan hewan sebagai lambang, tetapi ini tetap ada kaitannya dengan ilmu perbintangan. Lima elemen utama dari astrologi ini adalah Venus (metal atau emas), Jupiter (kayu), Mercury (air), Mars (api) dan Saturnus (tanah). Seni ramalan yang sesungguhnya dalam astrologi Tionghoa lebih dikenal dengan sebutan Zi Wei Dou Shu (ramalan bintang ungu).

Soal ramal-meramal itu tentu bukan perkara gampang. Orang boleh memprediksikan waktu dan tahun yang sama, berdasarkan letak posisi bintang yang sama, tetapi hasilnya bisa berbeda. Peramal satu memprediksikan bahwa tahun 2007 ini adalah tahun keberuntungan, sedangkan peramal lain menilai agar kita lebih mawas diri. Jadi sukar bagi kita untuk percaya kepada ramalan si A ataukah si B. Dalam istilah psikologi ini lebih dikenal dengan sebutan barnum efect atau forer effect. Artinya, manusia otomatis bisa menerima dan mempercayai pendapat seseorang, karena dari awal mula kita sudah terpengaruh untuk percaya.

Akan tetapi ketika di Eropa diadakan tes untuk menguji para pakar astrologi, untuk mengetahui di mana letak posisi delapan planet-planet besar, ternyata 70% peramal tidak dapat mengetahui pengetahuan yang sedemikian mendasar ini. Lalu, bagaimana mereka bisa menghitung dan mengartikan nasib orang lain, apabila letaknya saja tidak tahu.

Berdasarkan tes lain yang dilakukan oleh majalah Stern, dari semua ramalan para astrologi yang paling top di Eropa, ternyata dari hasil keseluruhan ramalannya selama satu tahun hanya 3% yang mungkin secara kebetulan telah menjadi kenyataan alias ramalannya jitu.

Sekalipun ramal-meramal begitu menarik, berbagai macam aliran agama menilai bahwa ramal-meramal itu haram. Tetapi banyak orang masih percaya ramalan. Tidak bisa dipungkiri di berbagai macam majalah dan surat kabar selalu menyajikan rubrik tetap horoskop yang memang digemari pembaca. Bahkan dalam diri kita, meskipun sering kali mengatakan tidak percaya akan segala macam bentuk, di lain selalu mencari hari dan waktu yang baik untuk melakukan suatu acara atau keperluan. Bukankah ini juga bisa disamakan seperti percaya akan ramalan? Dalam khasanah agama, seorang Nabi bernama Jusuf menafsirkan ramalan dari suatu impian. Namun kalau seseorang menemui peramal untuk menanyakan peruntungannya selalu dinyatakan haram atau dosa.


Dinamika Perspektif Ilmiah dan Religius

Salah satu bentuk ramalan yang pernah ada dan masih dipercayai sekarang adalah Kartu Tarot. Kartu ini berasal dari Italia. Pada awalnya, permainan kartu tersebut bernama Carde da Trionfi atau Kartu Kejayaan. Setelah mendapat pengaruh dari Prancis, nama Trionfi berubah menjadi Tarocchi.

Antoine Court de Gebelin dalam bukunya terbitan tahun 1781 menyatakan kartu Tarot dibuat justru oleh pendeta-pendeta Mesir kuno. Mereka kemudian membawa gambar-gambar tersebut ke Roma untuk dipersembahkan kepada Paus. Paus kemudian memperkenalkan Tarot ke Avignon, di Prancis pada abad ke-14. Gereja dan pemerintah di Eropa tidak melarang permainan Tarot. Beberapa daerah bahkan memperbolehkan warganya memainkan Tarot, padahal permainan kartu lainnya dilarang.

Hak eksklusif yang muncul dari pimpinan Gereja tidaklah berlangsung lama. Pada akhir abad ke-14 seorang pengkotbah dari Swiss, Johannes von Rheinfelden, secara tiba-tiba menyerang perjudian dan permainan kartu. Akibat dari insiden ini, John I dari Castile, menerbitkan larangan bermain kartu. Bahkan tahun 1379, Bernard dari Siena melakukan ceramah bahwa kartu tersebut hasil ciptaan setan.

Berbicara tentang ramal-meramal tidak mungkin melupakan peramal Prancis terkemuka bernama Nostradamus. Michel de Nostradamus seorang keturunan Yahudi yang telah memeluk Katolik. Ketika berumur lima belas tahun, ia belajar di Universitas Avignon. Ia mempelajari tata bahasa, percakapan, logika, geometri, aritmatika, seni musik dan astronomi/astrologi.

Nostradamus juga mempelajari dunia paranormal. Karena itu, ia bisa menulis kalender pada tahun 1550. Ia pun mulai terkenal dengan aneka tulisan ramalan. Ada sekitar 6.338 ramalan (kebanyakan ramalannya gagal) dan 11 kalendar. Meskipun demikian banyak bangsawan dan orang berpengaruh yang berminat untuk menanyakan nasihat dan ramalan kepadanya.

Karena karangan ramalan dan kalender karyanya tidak bertarikh, Nostradamus diancam oleh kaum beragama. Salah satunya buku yang berjudul Les Propheties (ramalan), telah dikecam bila diterbitkan. Masyarakat saat itu menuduh Nostradamus sebagai pemuja setan, palsu atau gila. Ia dituduh akan mewujudkan ramalannya dengan kekuatan ilmu hitam. Nostradamus yang berseberangan dengan kaum beragama lalu membela diri dengan mengatakan bahwa ramalan dan astrologi tidak termasuk dalam kategori agama. Karena argumen pembelaan dan ketaatannya pada otoritas religius, Nostradamus kembali berhubungan baik dengan kaum beragama. Ia hanya ditahan sebentar di Marignane tahun 1561, karena menerbitkan kelender tahun 1262 tanpa ijin otoritas religius.


Jangan Dipertentangkan, Jangan Dikompromikan

Perspektif ilmiah, dalam hal ini ramalan dengan berbagai bentuknya terbukti berbeda dengan perspektif religius. Meskipun keduanya selalu memiliki maksud positif untuk menjelaskan dunia dan kehidupan.

Budi Hardiman, dalam seminar The Future of Religion-Science Dialogue di Universitas Paramadina, Jakarta (13/12) mengatakan, perspektif ilmiah melihat alam sebagai dunia obyektif.

Fakta-fakta tunduk pada hukum alam. Dengan menggunakan perspektif tersebut, dibuat ramalan tentang peristiwa dan manipulasi teknis atas alam. Akan tetapi, manusia tidak melihat alam hanya sebagai fakta-fakta, melainkan juga sebagai dunia yang dihayati.

Adapun perspektif religius melihat alam dalam kaitan dengan kenyataan dan penghayatan eksistensial. Bukan kebenaran faktual, tetapi kebenaran transendental. Masing-masing punya kebenarannya, tetapi pada tahapan tertentu ada hubungan-hubungan. Keduanya sama penting dan bermakna.

Dia mencontohkan, bencana tsunami dari perspektif ilmiah merupakan peristiwa dalam dunia obyektif yang dapat dikalkulasi secara geologis. Di sisi lain, perspektif religius memaknai tsunami secara eksistensial dan transendental sebagai perjumpaan dengan hal-hal yang melampaui rasionalitas.

Pembedaan atas dua perspektif tersebut akan memperlihatkan bahwa sains tidak mempersoalkan kebenaran eksistensial dan transendental, seperti juga agama tidak berpretensi untuk menjadi sains yang memberikan penjelasan tentang kebenaran faktual.

Sementara itu, Hamid Parsania, Rektor Baghir Al-Ulum University, Teheran, mengatakan bahwa dalam perkembangan ilmu pengetahuan, terutama pada abad ke-19, sains dimaknai sebagai pengetahuan yang tangible (indrawi) dan dapat dibuktikan. Makna sains sebagai pengetahuan yang selalu berusaha menjelaskan alam semesta dan dalam perkembangannya dituntut pula mengajarkan nilai-nilai pada masyarakat. Sains kemudian semakin berkembang dan muncul ahli-ahli yang berpendapat bahwa sains tidak bisa lepas dari sumber-sumber lain.

Perjumpaan perspektif ilmiah dan religius dapat disaksikan dalam tulisan Stephen Hawking. Pada tahun 1988, dalam bukunya berjudul A Brief History Of Time, Hawking yang bermaksud menjawab pernyataan Paus menulis sebagai berikut: “I was glad then that he did not know the subject of the talk I had just given at the conference – the possibility that space-time was finite but had no boundary, which means that it had no beginning, no moment of Creation.” (hlm 116). Ia juga menulis:“So long as the universe had a beginning, we could suppose it had a creator. But if the universe is really completely self-contained, having no boundary or edge, it would have neither beginning nor end: it would simply be. What place, then, for a Creator?” (hlm. 140)

Meskipun dalam perspektif ilmiah, Stephen Hawking tidak menuntut bahwa teori ilmiahnya harus diterima sebagai mutlak benar. Ia menulis: “Setiap teori fisika selalu bersifat sementara, dalam arti teori itu hanyalah suatu hipotesis; Anda tidak pernah dapat membuktikannya. Tidak peduli berapa kali hasil-hasil eksperimen cocok dengan suatu teori, Anda tidak pernah dapat merasa pasti bahwa lain kali hasil itu tidak akan berlawanan dengan teori itu. Di pihak lain Anda dapat membuktikan bahwa suatu teori itu salah dengan menemukan suatu pengamatan, bahkan satu saja sudah cukup, yang tidak cocok dengan ramalan itu.” (Any physical theory is always provisional, in the sense that it is only a hypothesis: you can never prove it. No matter how many times the results of experiments agree with some theory, you can never be sure that the next time the result will not contradict the theory. On the other hand, you can disprove a theory by finding even a single observation that disagrees with the predictions of the theory) (hlm. 11-12).

Stephen Hawking sependapat dengan filsuf Karl Popper (1902-1994) dan Sir James Jean (1877-1946), bahwa sebuah teori tidak pernah dapat dibuktikan mutlak benar. Ini tentu juga berlaku bagi teori-teori ciptaan Hawking sendiri. Jadi Hawking tidak pernah mengatakan bahwa teorinya mutlak benar. Ia bahkan berpendapat bahwa teorinya tidak pernah dapat dibuktikan benar.

Pernyataan Hawking tersebut sekaligus mengatakan bahwa perspektif religius dari kalangan agamawan atau teolog tidak harus berkompromi dengan teori Hawking. Kalangan agamawan tidak perlu risau dengan perspektif ilmiah. Apalagi Hawking sendiri adalah seorang ateis dan percaya bahwa alam semesta berasal dari dentuman besar.

Meskipun harus diakui, Hawking sangat toleran terhadap teori penciptaan yang meyakini bahwa Allah menciptakan alam semesta, dalam tulisannya: Orang masih dapat membayangkan bahwa Tuhan menciptakan jagat raya pada saat dentuman besar itu. Atau bahkan sesudahnya, hanya dengan cara sedemikian agar tampak seakan-akan sebelum itu ada dentuman besar. (One could still imagine that God created the universe at the instant of the big bang, or even afterwards in just such a way as to make it look as though there had been a big bang) (hlm. 10-11).


Simpulan

Pelajaran berharga dapat dipetik bahwa perjumpaan antara ramalan dan iman di masa lalu memberikan kesimpulan bahwa perspektif ilmiah dan religius tak perlu dipertentangkan. Juga pertentangan antara agama dan sains dalam masalah-masalah seperti teori evolusi maupun teori realitas kuantum. Karena pada dasarnya, sains dan agama merupakan dua perspektif yang berbeda dalam menjelaskan dunia dan kehidupan. Kesimpulannya, perspektif ilmiah dan perspektif religius tak perlu dipertentangkan sekaligus jangan dikompromikan.

Di awal tahun ini ramalan boleh dimunculkan para peramal. Entah kabar baik, entah kabar buruk. Masyarakat beragama yang menjadi mayoritas di negara ini pun boleh mengabaikan ramalan. Masyarakat beragama boleh percaya dan mendengarkan tuntunan dari pemimpin agama mereka masing-masing. Ramalan boleh dikeluarkan, tetapi kaum agamawan sah untuk tetap percaya kepada Allah. Dalam bahasa orang biasa, menghadapi apa yang akan terjadi, pentinglah untuk mendengarkan suara Allah dalam keheningan doa kepada Yang Ilahi. Oleh karena itu, amat tepat jika kita melepaskan sejenak dari segala analisis dan hitungan matematika manusia, melupakan segala primordialisme manusiawi dan berpasrah kepada Allah supaya petunjukNya yang mengarahkan kita. (A. Luluk Widyawan, Pr, dosen di STKIP Widya Yuwana, Madiun)

(yahoo.com)

2 Tanggapan to “Ramalan, Antara Perspektif Ilmiah Dan Religius”

  1. […] Ramalan, Antara Perspektif Ilmiah Dan Religius […]

  2. I know this if off topic but I’m looking into starting my own weblog and was curious what all is needed to get set up? I’m assuming having a blog like yours would
    cost a pretty penny? I’m not very internet smart so I’m not 100% positive.
    Any recommendations or advice would be greatly appreciated.
    Many thanks

Tinggalkan komentar